CERITA TENTANG "DIA"


Ini hari adalah senja kesekian sejak Merapi memuntahkan isi perutnya. Hari dimana abu masih tebal meliputi kampung-kampung di sisi selatan gunung. Hari ketika tebalnya awan panas masih mengepulkan sisa-sisa asap. Dimana penghuni kampung sebagian besar masih mengungsi. Di hari itulah kabar kedatangannya tersiar.
Senja yang kelabu temaram. Pantulan sinar candikala yang jatuh di dedaunan nan luruh oleh beratnya abu membawa kabar kedatangan seorang pangeran dari negeri seberang. Negeri yang konon langitnya selalu biru segar. Tiada malam menjelang disana. Negerinya dipenuhi oleh keindahan bunga-bunga mewangi. Kastuba dan narwastu menguar sampai ke setiap sudut negara. Dari sanalah sang pangeran datang, menyusul kedua orang tuanya yang telah mendahului datang. Senja itu, kelabu dan abu-abu seperti malu. Mereka tampak merah merekah oleh kabar keindahan yang datang. Kelabu dan abu-abu tak lagi kelu sedingin hari-hari yang lalu. Mereka bergembira oleh kabar bahagia itu. Mereka merona.
Ayahnya adalah seorang yang dibesarkan dalam Jagad Jawa. Jauh sebelum dia datang ke dunia baru, ayahnya telah begitu mengenyam goresan-goresan hanacaraka. Bau lumpur dan rumput segar adalah tembang macapat yang menjadi dengung nina bobo kala kantuk menyerang. Gamelan adalah simfoni yang menjadi nafas kesehariannya. Dongeng tentang Pandhawa Dadu, Begawan Ciptaning, Arjuna Sasrabahu maupun kehebatan Gadjah Mada dan para leluhur di Mataram adalah pengantar tidur dari kakek buyut pendongeng yang hebat. Sementara Sang Bunda, meski dilahirkan dan dibesarkan jauh di Swarnadwipa, dalam darahnya mengalir darah para leluhur Kadipaten Bagelen. Sehingga, mudah baginya jatuh cinta pada keindahan budaya yang dahulu pernah lekat dengan para leluhurnya.
Bagi sang ayah yang dibesarkan oleh orang-orang yang begitu dekat dengan kebudayaan jawa, wayang adalah gambaran kehidupan. Filosofi makrokosmis yang maujud dalam lantun dongeng pengantar tidur. Bukan sembarang dongeng, namun dongengan yang maton. Pakem. Penuh makna dalam pasemon. Bukan layaknya sinetron atau telenovela yang tak lebih dari sekedar tontonan ompong tanpa isi.
Dari sanalah nama sang pangeran berasal. Bukan oleh racun yang timbul dari sinar elektromagnetis yang ditebarkan oleh kotak bernama televisi. Juga bukan oleh tembang manis bujukan pecinta-pecinta dari seberang lautan. Melainkan dari kotak berisi tumpukan lulang bergambar dan kelir dari kain putih yang berbaur dengan minyak blencong dan kepyak. 
Pun, sang Bunda mengamini. Tiada perlu terlalu berkiblat pada dunia yang kita sendiri tak tau apa kebenarannya. Bukan tidak ada kebaikan disana, tetapi layak kita kembali mengingat pada diri. Bahwa bangsa ini bangsa besar. Bahwa budaya ini budaya adi luhung. Bahwa menjadi Nusantara bukan sebuah kemalangan. Sebab dari pertiwi ini kita menghisap sari kehidupan dan kesanalah kita kembali ke muasal.

***

Adalah seorang Arjuna, yang dikenal dengan begitu banyak nama. Nama yang menggambarkan sifat-sifat baiknya, kesatriaan dan kebesarannya. Arjuna adalah cendekia yang cerdik pandai. Di darahnya mengalir wejangan Sang Wisnu. Begitu dekatnya pada sang dewa, bahkan Wisnu pun menyediakan dirinya untuk menjadi kusir sang Dananjaya kala perang besar Bharatayuda berlangsung. Dijulukilah demikian sebab selalu berhasil ia merebut kejayaan. Galibnya yang terjadi pada Yadnya Rajasuya.
Bukan tanpa sebab Wisnu jatuh hati padanya. Sifatnya yang mulia, kemauan yang teguh dibalik hati yang lembut membuat Arjuna keturunan Bharata yang terbaik. Meski Arjuna seorang yang pendiam, teliti, sopan-santun, namun pada saatnya Ia adalah sosok yang berani dan suka melindungi yang lemah. Keberpihakannya pada jalan kebenaran membuatnya selalu berjuang dengan cara-cara yang jujur. Cara-cara seorang Wibhatsu.
Demikianlah ia mendapatkan nama Bharata-srestha. Keturunan Kuru yang terbaik. Sebab kegemarannya berkelana, bertapa dan menuntut ilmu. Pertapaannya sangat khusyuk. Bila Arjuna mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya pada Tuhan, segala godaan dan gangguan tak akan menggoyahkan hati dan pikirannya. 
"Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu pada-Ku, maka kau akan datang kepada-Ku. Aku berkata demikian, karena kaulah kawan-Ku yang sangat Kucintai", ujar Kresna, Sang Wisnuputra [dikutip dari Bhagawad Gita, 18.65]. 

***


“Biarlah Ia menjadi kekasih Tuhan. Biarlah perjuangannya nanti adalah perjuangan untuk kejayaan. Dan pertarungannya itu berdasarkan pada naluri kejujuran. Cara-cara yang baik, bukan cara-cara yang curang. Cara ksatria seperti leluhurnya dulu para Rakai. Jadilah ia pemimpin terbaik di wangsanya. Sebab, darah yang baik mengalir di tubuhnya. Darah pada pemimpin Mataram, sejak leluhurnya Raden Mas Jolang.”, demikian pungkas orang tuanya berharap. 
“Tuhan telah mengaruniakan kedatangannya pada saat yang tepat. Tuhan juga telah mempersiapkan semuanya dengan rencana yang tanpa cacat. Bahwa Dia mempersiapkan orang-orang baik yang selalu membuka pintunya untuk pertolongan. Kami merencanakan segala sesuatunya, tapi jauh diatas segalanya rencana-Nya yang mempersatukan keping-keping rencana kami”, imbuh Sang Bunda.

***


Ini cerita tentang anak manusia. Dikabarkan kedatangannya dengan ditandai letusan Gunung Merapi. Menjadi berita sukacita pada masa Advent. Lahir pada bulan Ramadhan. Layaknya orang Jawa yang lain, kelahirannya ditandai dengan candrasengkala, Ratu Gusti Tan Kinembaran. Dia adalah lelaki yang lahir pada Senin Kliwon, 15 Agustus 2011, Wuku Kuruwelut, Mangsa Karo. Ialah seseorang kepada siapa aku menaruh rasa cinta. Seseorang yang kujadikan kekasih seperti halnya Tuhan telah menjadikan aku kekasihNya. Maka cintaku adalah cinta yang begitu suci. Tak dapat kuperikan seperti cinta seseorang pada saudaranya, kepada kawan karibnya, ataukah kepada buah hatinya. Yang pasti kutahu, aku mencintainya dengan segenap hati dan jiwaku, selayaknya aku mencintai diriku sendiri. Sebab dialah aku, Rakai Dananjaya Wibhatsuresta.